Setiap bulan Agustus, tepat pada tanggal 17, bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Kemerdekaan. Saat ini, genap sudah 80 tahun negeri ini berdiri sebagai bangsa yang merdeka. Perayaan pun digelar di berbagai pelosok tanah air, mulai dari lomba-lomba hingga doa bersama. Semua kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai rasa syukur atas nikmat kemerdekaan yang telah dianugerahkan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah kita sudah benar-benar merdeka? Atau sudahkah kita memaknai kemerdekaan itu dengan benar?
Jika kemerdekaan diartikan sebagai terbebas dari penjajahan fisik, maka jawabannya ya—bangsa ini memang telah merdeka. Tetapi, dalam perspektif Al-Qur’an, apakah itu sudah cukup? Lalu, seperti apa makna kemerdekaan yang hakiki menurut Al-Quran? Berikut penjelasannya.
Dalam bahasa Arab, merdeka diistilahkan dengan istiqlal. Istiqlal artinya bebas dari belenggu perbudakan dan penjajahan, serta bebas melakukan segala hal dengan batas-batas syariat. Jadi, makna kemerdekaan bukan sekadar terbebas dari belenggu penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan jiwa dari segala bentuk perbudakan selain kepada Allah.
Al-Qur’an memandang kemerdekaan sebagai fitrah manusia yang dianugerahkan sejak penciptaannya, yakni kebebasan untuk beriman, beramal saleh, dan membangun kehidupan yang bermartabat. Hakikat kemerdekaan dalam perspektif Al-Qur’an menuntut adanya tanggung jawab moral, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi hamba Allah semata, bukan hamba selain-Nya.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Merdeka dalam Tauhid
Al-Qur’an mengajarkan bahwa tauhid—mengakui keesaan Allah— merupakan pondasi kebebasan manusia. Orang yang bertauhid tidak tunduk pada berhala, kekuasaan zalim, atau tradisi yang menyesatkan. Ia hanya memosisikan Allah sebagai satu-satunya yang layak ditaati sepenuhnya. Tauhid membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk. Pesan ini ditegaskan dalam firman-Nya,
Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya. Oleh karena itu, janganlah takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang mukmin. (QS. Ali ‘Imran [3]: 175)
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ini menjelaskan sumber dari ucapan yang menebar rasa takut. Pihak yang menyebarkan berita tentang adanya kekuatan besar yang telah siap menghadang sebenarnya hanyalah setan—yang menakut-nakuti para pengikutnya, yaitu orang-orang munafik.
Berbeda halnya dengan orang beriman sejati, mereka tidak mudah terpengaruh oleh kabar menyesatkan semacam itu. Karena itu, Allah menegaskan: janganlah takut kepada mereka, sebab yang menjadi penolong mereka hanyalah setan. Takutlah hanya kepada Allah, dengan cara menaati perintah-Nya dan mengikuti tuntunan Rasul-Nya, jika benar-benar mengaku beriman.
Keteguhan pada tauhid inilah yang dapat membebaskan manusia dari jerat syirik, takhayul, dan tipu daya setan. Inilah bentuk kemerdekaan yang paling hakiki—kemerdekaan spiritual—yang menjadi pondasi kuat bagi lahirnya kebebasan sosial dan politik. Sebab, kemerdekaan yang tidak bertumpu pada tauhid hanya akan berganti rupa menjadi bentuk perbudakan baru, meski tanpa rantai yang kasat mata.
Merdeka dari Penindasan dan Ketidakadilan
Al-Qur’an dengan tegas mengecam segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. Allah memerintahkan umat-Nya untuk menegakkan keadilan serta membela mereka yang tertindas. Kemerdekaan, dalam pandangan Islam, bukan sekadar hak privat, tetapi juga hak kolektif seluruh umat manusia.
Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari (kalangan) laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS. An-Nisa [4]: 75)
Dalam Mafatih al-Ghaib, Ar-Razi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk penegasan Allah terhadap mereka yang enggan berperang. Jika dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini, makna perang adalah membantu sesama yang kesusahan, mengentaskan kemiskinan, membela mereka yang ditindas, dan semacamnya. Seruan ini menjadi penekanan setelah perintah berjihad sebelumnya, mengandung beberapa makna penting.
Pertama, firman Allah “Ada apa denganmu sehingga kamu tidak berperang?” menunjukkan bahwa jihad adalah kewajiban. Tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk menolak berperang ketika kaum mukmin—laki-laki, perempuan, dan anak-anak—telah berada dalam kondisi lemah dan teraniaya. Seruan ini merupakan ajakan tegas sekaligus penjelasan bahwa jihad bertujuan membebaskan orang-orang beriman dari cengkeraman kaum kafir, layaknya membebaskan tawanan dari penjara.
Kedua, kalangan Mu‘tazilah menafsirkan ayat ini sebagai bentuk kecaman kepada mereka yang meninggalkan jihad, sekaligus penegasan bahwa tidak ada satu pun alasan yang membenarkan sikap tersebut. Mereka berargumen, jika tindakan manusia sepenuhnya bergantung pada penciptaan dan penetapan Allah, maka teguran ini tidak akan relevan. Karena itu, ayat ini menjadi bukti bahwa tanggung jawab untuk berjuang ada pada manusia, bukan sekadar bergantung pada takdir.
Jadi, ayat ini sesungguhnya menegaskan bahwa membela kaum tertindas adalah bagian dari jihad di jalan Allah. Perjuangan melawan penjajahan yang dilakukan oleh para pahlawan kemerdekaan Indonesia sejatinya senada dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Sebab, kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajah, tetapi juga tegaknya keadilan, terjaganya martabat, dan terbukanya kesempatan atau peluang bagi setiap insan untuk hidup dalam kebebasan yang berkeadilan.
Merdeka dari Hawa Nafsu
Kemerdekaan sejati tidak berhenti pada lepasnya bangsa dari cengkeraman penjajah. Ada musuh yang jauh lebih halus namun tak kalah berbahaya yaitu hawa nafsu. Ia bisa merasuki hati tanpa terasa, membelenggu manusia melalui keserakahan, amarah, kemalasan, dan berbagai dorongan yang menjerumuskan. Al-Qur’an mengingatkan bahaya ini dengan tegas:
Tahukah kamu (Nabi Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya, Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran? (QS. Al-Jatsiyah 45]: 23)
Al-Alusi dalam Ruh al-Ma‘ani menjelaskan makna firman Allah “Pernahkah kau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” sebagai ungkapan keheranan atas keadaan seseorang yang meninggalkan petunjuk kebenaran lalu memilih menuruti hawa nafsu, seakan-akan ia menyembahnya. Ungkapan ini adalah metafora yang kuat, yang menegaskan betapa nafsu dapat mengambil posisi sebagai “tuhan” bagi mereka yang mengikutinya.
Sahl At-Tustari bahkan menegaskan, “Hasratmu adalah penyakitmu, maka jika kau melawannya, itulah obatmu.” Hal ini selaras dengan sabda Nabi ﷺ: “Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah Ta‘ala.”
Pesan ini mengingatkan bahwa kekuatan sejati bukanlah pada mengikuti keinginan, melainkan pada kemampuan mengekang dan mengelolanya untuk taat kepada Allah. Jika tubuh merdeka namun jiwa masih diperbudak hawa nafsu, maka kemerdekaan itu hanyalah ilusi. Bangsa yang bebas secara lahir tetapi terikat secara batin (hawa nafsu) akan mudah terperosok dalam krisis moral dan spiritual. Karena itu, kemerdekaan batin—yang lahir dari pengendalian diri, ketundukan kepada Allah, dan kemurnian hati—harus berjalan seiring-sejalan dengan kemerdekaan lahir. Tanpanya, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata hanya akan beralih bentuk menjadi perbudakan baru nirnilai.
Dengan demikian, sesungguhnya kemerdekaan yang tengah kita nikmati hari ini adalah amanah yang harus dijaga, dirawat dengan baik. Para pahlawan telah membebaskan kita dari penjajahan fisik. Tugas kita saat ini ialah bagaimana membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan batin dan pola pikir kolonial yakni kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kerusakan moral. Sebagaimana pesan Al-Qur’an, kemerdekaan hakiki hanya akan terwujud jika kita kembali menjadi hamba Allah yang taat, menegakkan tauhid, keadilan, dan akhlak mulia. Merdeka lahir batin—itulah kemerdekaan yang diridai Allah.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini