Bulan rajab berlalu dan syaban pun hadir di tengah kita. Syaban menjadi bulan yang populer dengan keberkahannya, kemuliaannya, dan diluaskan pintu taubat dan taat nya. Menurut Sayyid Muhammad Alawy al-Maliki dalam kitabnya Madza fi Sya’ban, dinamakan Sya’ban karena ia yatasya’ab minhu khairun katsir (kebaikannya terus mengakar, menerangi sepanjang jalan). Sayyid Alawy pun mengungkap tentang asal-usul kata Syaban dan apa makna yang terkandung padanya:
“Dinamakan syaban karena karena banyak cabang-cabang kebaikan pada bulan mulai ini. Sebagian ulama mengatakan, Sya‘ban berasal dari Syâ‘a bân yang bermakna terpancarnya keutamaan pada bulan ini. Jika menggunakan kasrah, syi’baan ia diartikan jalan besar yang ada pada sebuah gunung, dalam arti ia adalah jalan kebaikan. Jika memakai fathah diartikan sebagai menambal. Dalam arti, Allah menambal dan menutupi kegundahan hati (hamba-Nya) di bulan Sya’ban”.
Lebih lanjut, Sayyid Alawi mengutarakan tiga fenomena atau kejadian penting dibalik berkahnya bulan syaban yang perlu kita ketahui, diantaranya:
Pertama, terjadinya peristiwa perpindahan kiblat
Seperti halnya kita tahu bahwa surat al-Baqarah (2):144 mengisahkan tentang perputaran dan pergantian arah kiblat dari Bayt al-Muqaddas menuju Masjid al-Haram (ka’bah). Dalam ayat ini diungkapkan sejarah penduduk Madinah saat itu kebanyakan adalah agama Yahudi dan Nasrani, dimana keduanya beribadah menghadap Baitul Muqaddas yang berada di Palestina, maka Rasulullah pun shalat menghadap Baitul Muqaddas demi menghargai kepercayaan mereka. Meski demikian, dalam hati kecil Rasulullah ada rasa kerinduan ingin kembali shalat menghadap Ka’bah di Masjidil Haram. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Rasulullah sering mengadah ke arah langit dengan mengharapkan turunnya wahyu terkait hal tersebut. Kejadian ini terekam dan turunlah surat al-Baqarah (2):144:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.
Mengenai relasinya dengan bulan Sya’ban, Abu Hatim al-Bisti rahimahullahu ta’ala mengutarakan yang penulis kutip dari Imam al-Qurtubhi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkami al-Quran juz 2 halaman 150 “saat itu orang Muslim ramai melaksanakan shalat di Bayt al-Muqaddas selama 17 bulan 3 hari, setelah itu mereka tiba di Madinah pada hari senin selama dua belas malam tepat di bulan Rabiul Awwal. Lalu, turunlah perintah Allah untuk menghadap ka’bah di hari selasa yang tepat di pertengahan bulan Sya’ban”.
Kedua, penyerahan keseluruhan amal secara penuh pada Allah
Poin kedua ini cukup populer di kalangan masyarakat kita karena aneka ragam ibadah dilakukan dengan penuh semarak, mulai dari puasa sampai melaksanakan shalat nisyfu sya’ban yang saat itu diangkatnya amal perbuatan lalu meminta mohon ampunan dari dosa selama di dunia. Menurut Sayyid Alawy, diangkatnya amal perbuatan bukan berarti diangkat saat bulan Syaban saja, ada redaksi Hadis yang juga mengutarakan tentang pengangkatan amal di waktu-waktu yang berbeda. Sayyid Alawy tidak meniadakan salah satunya atau keduanya, kapanpun waktu terbaik diangkatnya amal perbuatan kita pasti mengandung hikmah padanya.
Terkait dengan waktu diangkatnya amal perbuatan, Sayyid Alawy dalam kitabnya mengutarakan bahwa para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian ada yang mengatakan bahwa amal perbuatan akan disetorkan pada siang dan malam hari, sebagian mengatakan disetorkan dalam kurun waktu per-minggu. Mengenai hal ini, kita cukup mempercayai esensi keistimewaannya agar semangat dalam menjalankan ibadah di bulan Sya’ban. Seperti halnya kebiasaan Rasul berpuasa penuh di bulan Sya’ban yang diutarakan oleh Imam Hafidz al-Mundziri dalam kitab al-Targib wa al-Tarhib mengutip sebuah Hadis riwayat Imam an-Nasai dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma berkata; aku berkata,
”Wahai Rasulullah! Saya belum pernah melihat engkau berpuasa selama sebulan kecuali engkau berpuasa di bulan Sya’ban”. Rasul bersabda: “Bulan Sya’ban menjadi bulan yang dilalaikan oleh kita karena posisinya ada diantara bulan Rajab dan Ramadhan, padahal bulan ini diangkatnya amal-amal perbuatan pada Rabb al- ‘Alamin. Saya ingin amalan diangkat saat sedang berpuasa”.
Melalui penjelasan diatas, tampak sangat jelas bahwa Nabi mengistimewakan bulan-bulan Hijriyah dalam Islam khususnya bulan Sya’ban ini. Salah satu amalan Nabi mengistimewakannya ialah dengan antusias berpuasa selama sebulan penuh.
Ketiga, penurunan ayat tentang anjuran shalawat untuk Nabi Muhammad
Imam Shihabuddin al-Qisthilani dalam kitab al-Mawahib al-Diniyah bil manhi al-Muhammadiyah fi al-Sirah al-Nabawiyyah yang ia kutip dari sebagian Ulama, mengutarakan bulan Sya’ban sebagai bulan shalawat pada Nabi hingga turunlah surat al-Ahzab ayat 56:
Artinya, “Sungguh Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Pendapat lain dikutip dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang menyanggah pendapat al-Qasthalani mengutarakan bahwa perintah shalawat pada Nabi terjadi di tahun kedua hijriah, disisi lain ada yang mengatakan di malam Isra’. Namun, popularitas Ulama sepakat bahwa perintah ini ditunjukkan pada bulan Syaban. Wallohu A’lam.
Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA., Dosen STIU Darul Quran Bogor dan Ustadzah di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA.? Silahkan klik disini