Tiga Bukti bahwa Allah Tidak Pilih Kasih terhadap Hamba

Seringkali kita terjebak dalam asumsi bahwa kedekatan dengan Allah SWT hanya dimiliki oleh mereka yang saleh dan taat. Padahal, jika ditelisik lebih mendalam, Allah merupakan Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Pengasih serta Maha Penyayang – tanpa kecuali. Tidak ada istilah “anak emas” atau “anak tiri” dalam pandangan Allah. Setiap manusia, tanpa kecuali, tanpa memandang status keimanan dan agama, diberi peluang yang sama untuk mendekat kepada-Nya.

Pertama, lihatlah bagaimana panggilan mesra Allah ketika membuka firman-Nya dalam Al-Qur’an: “Ya ayyuhan nas” Wahai manusia! Seruan ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang beriman, yang taat dan shaleh, atau kepada kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh umat manusia: baik yang bertakwa maupun durhaka, yang ikhlas maupun munafik, yang beriman atau kafir, yang taat maupun pendosa, dan sebagainya.

Semua disapa dengan panggilan yang sama: manusia. Satu kata yang menggambarkan betapa inklusif dan meratanya (egaliter) kasih sayang Allah. Panggilan (nida’) ini menurut Syekh Ash-Shawi dalam tafsirnya, Hasyiyah ash-Shawi, bertujuan agar orang-orang mukmin lebih memperhatikan lagi terhadap urusan dan keadaan mereka, baik terkait perintah maupun larangan Allah yang berada setelah redaksi nida’ (panggilan) tersebut.

Ayat ke-21 dalam Surah Al-Baqarah menjadi saksi kuat,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

“Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 21)

Panggilan ini mengandung makna bahwa siapa pun kita—apa pun latar belakang kita—Allah tetap mengajak kita untuk kembali kepada-Nya. Bahkan tatkala kita merasa terlalu kotor, terlalu hina, atau terlalu jauh, Allah tetap memanggil. Tidak ada pagar pembatas antara hamba dan Tuhannya.

Selain itu, yang kedua bahwa Al-Qur’an juga mencatat beragam seruan lainnya: Ya ayyuhalladzina amanuWahai orang-orang yang beriman

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)

Ayat puasa di atas dimulai dengan ajakan kepada setiap orang yang beriman walau seberat apapun. Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, jika suatu ayat diberi pengantar panggilan “Ya ayyuhal ladzina amanu”, artinya mengandung perintah yang cukup berat yang hanya bisa dilakukan atau dijalani bagi mereka yang memiliki iman yang kuat.  

Sebagai misal, ayat puasa di atas diawali dengan “wahai orang-orang yang beriman” lalu dilanjutkan dengan perintah puasa. Secara harfiah, puasa bermakna imsak (menahan diri). Perintah menahan diri ini sungguhlah berat sehingga tidak semua orang kuat menjalankannya. Oleh karena itu, Allah SWT mengawalinya hanya bagi orang yang beriman yang mampu menjalankan perintah tersebut.

Ketiga, Allah SWT menggunakan redaksi Ya ibadiyal ladzina asrafuWahai orang-orang yang melampaui batas dalam firman-Nya. 

قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ 

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. (Q.S. Az-Zumar [39]: 53)

Pada ayat ini, Allah memberi kabar gembira kepada Nabi Muhammad SAW agar menyampaikan kepada umat-Nya bahwa Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, akan mengampuni segala dosa yang terlanjur mereka kerjakan bahkan melampaui apabila benar-benar bertaubat dari kesalahannya. 

Dalam ayat ini, Allah sungguh amatlah romantis karena langsung menyebut hamba-hambaNya yang melampaui batas dengan panggilan “ya ibadiyal ladzina asrafu”. Allah swt tetap menganggap sekaligus masih mengakui mereka yang melampaui batas kemaksiatan sebagai ibad (hamba). 

Artinya, Allah swt masih menaruh harapan besar terhadap hamba-Nya agar mereka kembali kepada Allah. Ia tidak menginginkan sekaligus membiarkan hamba-Nya berlinang kemaksiatan dan kesengsaraan, karena Allah swt menghendaki kebahagiaan bagi hamba-Nya. Inilah bukti kasih sayang dan rahmat Allah, termasuk terhadap mereka yang melampaui batas.

Panggilan-panggilan ini bukan bentuk diskriminasi, tapi justru bukti bahwa Allah peduli pada setiap hamba-Nya. Bahkan kepada mereka yang menyimpang, Allah masih menyapa, memberi kesempatan untuk memperbaiki, dan membuka pintu ampunan. Karena itu, jangan pernah merasa bahwa kita “tidak layak” untuk datang kepada-Nya. Rahmat Allah tidak dibatasi oleh amal, tidak dipagari oleh status dan plakat sosial, tidak disekat oleh dosa. 

Bukankah Allah sendiri telah berfirman: “Warahmati wasi’at kulla syai’”
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 156). Maka tugas kita adalah menyambut seruan itu. Menjawab panggilan Tuhan dengan hati terbuka, tanpa menunggu sempurna, karena justru dalam proses mendekat itu, kita disempurnakan oleh kasih-Nya.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini