Rasulullah pernah bersabda yang dicatat dalam sebuah hadis sahih:
“Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731).
Hadis ini menjadi dasar anjuran untuk melaksanakan shalat sunnah di rumah, bukan di masjid. Ulama menjelaskan bahwa ada dua hikmah besar di balik anjuran ini. Pertama, agar rumah kita senantiasa hidup dengan bacaan Al-Qur’an. Shalat sunnah yang dibiasakan di rumah akan membuatnya berbeda dengan kuburan yang hampa dari lantunan dzikir dan ibadah. Kedua, shalat sunnah di rumah menjadi cara untuk melindungi hati dari potensi ujub dan riya, karena ibadah sunnah memang tidak dilakukan oleh semua orang di ruang publik.
Namun persoalan tidak berhenti di situ. Seseorang bisa saja pulang dari masjid dengan niat mengamalkan sunnah ini, lalu tiba-tiba muncul rasa di dalam hati: “Aku lebih ikhlas, lebih tawadhu, lebih sesuai sunnah daripada orang-orang yang melakukannya di masjid.” Perasaan ini justru berlawanan dengan maksud awal dari anjuran Nabi.
Ibnu Atha’illah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam pernah mengingatkan: “Barangsiapa merasa dirinya tawadhu, maka dialah orang yang sombong.” Kalimat ini menunjukkan betapa tipisnya jarak antara ikhlas dengan ujub. Bahkan ketika kita merasa sudah ikhlas, di situlah letak jebakannya.
Pergulatan batin bisa berlanjut. Ia mungkin berkata pada dirinya: “Kalau begitu, lebih baik saya tidak usah shalat sunnah, karena di masjid atau di rumah pun saya terjebak merasa lebih baik dari yang lain.” Namun seketika terlintas pesan dari ulama lain, Al-Qadhi Iyadh, yang mengatakan: “Mengerjakan sesuatu karena manusia adalah syirik. Dan meninggalkan sesuatu karena manusia adalah riya.” Artinya, menghindari ibadah hanya karena takut dianggap riya, justru sama saja dengan bentuk riya yang lain.
Dari sini kita belajar, bab ikhlas adalah medan yang tidak mudah. Ia bukan sekadar soal memilih di rumah atau di masjid, melainkan soal bagaimana menjaga hati agar senantiasa lurus. Ikhlas berarti mengerjakan amal karena Allah, lalu melupakannya, tanpa dihantui pandangan atau penilaian manusia.
Ikhlas memang tidak sederhana. Ia bukan sesuatu yang selesai sekali untuk selamanya, tetapi sebuah proses yang terus menerus. Setiap kali merasa sudah ikhlas, saat itu pula kita harus waspada, karena bisa jadi rasa itulah pintu masuk bagi kesombongan.
Akhirnya, dari tarik-ulur inilah kita paham bahwa yang terpenting bukanlah di mana shalat sunnah itu dikerjakan, tetapi kepada siapa ia ditujukan. Rumah bisa hidup dengan shalat, masjid bisa ramai dengan jamaah, tetapi hati hanya hidup jika ikhlas benar-benar menjadi tujuannya.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini