Saqar, Ashab Al-Yamin dan Empat Penyesalan Pendurhaka

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan. Kecuali golongan kanan, berada di dalam surga yang mereka saling bertanya, tentang (keadaan) para pendurhaka, Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?”, Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat, dan kami (juga) tidak memberi makan orang miskin., Bahkan, kami selalu berbincang (untuk tujuan yang batil) bersama para pembincang, dan kami selalu mendustakan hari Pembalasan, hingga datang kepada kami kematian.” (Qs. Al-Mudatstsir/ 74: 38-47)

Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa/ hudan lil muttaqin, Al-Quran mengisyaratkan banyak tuntunan agar kelak manusia memeroleh keselamatan. Beragam bentuk tuntunan tersebut baik yang berupa perintah (amr) maupun yang berbentuk dialog nyata antara orang beriman dengan pendosa, salah satunya dalam Qs. Al-Mudatstsir/74: 38-47 di atas. Dengan sangat detail, Al-Quran menguraikan secara deskriptif dan dialogis bagaimana Ashab al-Yamin (orang-orang beriman golongan kanan) bertanya langsung pada para al-mujrimin (perdurhaka/ pendosa) di dalam salah satu neraka (Saqar) kelak.

Pada ayat ke 38, Allah menggunakan kata كَسَبَتْ (kasabat)/ sering dimaknai dengan amal yang telah dilakukan manusia. Dalam tafsir Al-Mishbahnya, Prof. Dr. M. Quraish Shihab mengurai bahwa kasabat (demikian juga kata اكتسب/iktasaba), terambil dari kata كسب (kasaba) yang maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat. Pada mulanya, kata ini hanya digunakan apabila perbuatan yang dimaksud dilakukan oleh anggota badan manusia, khususnya tangannya, tetapi Al-Quran menggunakannya juga bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh hati manusia, lebih jelas, uraian tentang lafadz kasabat ini juga terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 225).

Sementara itu, Syekh Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa kata kasaba atau kasabat menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan seseorang secara mudah dan atau tidak membutuhkan kesungguhan. Berbeda halnya dengan iktasaba yang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan susah (pemaksaan hati) karena perbuatan tersebut tidak sejalan dengan kecenderungan jiwa.

Selain Syekh Muhammad Abduh, pakar bahasa Al-Quran, ar-Râghib al-Ashfahâni, berpendapat lain. Menurutnya, kata iktasaba tidak digunakan kecuali untuk perbuatan yang manfaatnya diperoleh oleh si pelaku, sedangkan kata kasaba sebagaimana ayat di atas digunakan untuk semua perbuatan, baik yang manfaatnya tertuju kepada pelaku maupun kepada selainnya. Kalau demikian, kata kasabat dalam ayat ini mencakup amal-amal baik dan buruk.

Pada ayat berikutnya, yakni ayat 39, Allah Swt menyebut Ashab al-Yamin. Ashhâb al-Yamîn, urai Prof Quraish Shihab, ialah mereka, para penghuni surga, yang berhasil menebus dirinya dengan amal-amal kebajikan. Mereka berada di dalam surga, saling tanya menanya, yakni bertanya, tentang keadaan para pendurhaka: “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam neraka Saqar?”

Mufasir az-Zamakhsyari juga berpendapat bahwa ayat di atas para penghuni surga saling berbincang tentang keadaan mereka dan keadaan penghuni neraka. Ketika itu, ada di antara mereka yang menceritakan pengalamannya berdialog dengan penghuni neraka, seakan-akan mereka berkata: “Kami pernah menanyakan kepada penghuni neraka, apa yang menjadikan kamu terjerumus ke neraka?” namun demikian, Prof. Quraish Shihab berpendapat bahwa bentuk kata seperti yatasâ’alûn/ bertanya, tidak selalu harus diartikan saling bertanya dan karena itu ayat ini—sebagaimana pendapat beberapa ulama tafsir—diartikan sebagai bertanya.

Lantas, siapakah mereka al-Mujrimin (pendurhaka/ pendosa) seperti yang diuraikan dalam ayat di atas?

Kata الْمُجْرِمِيْنَ (al-mujrimîn) terambil dari kata جرم (jarama) yang pada mulanya berarti memutuskan atau memotong sesuatu yang seharusnya masih bersambung. Itu merupakan pelanggaran (dosa). Dari sini, bahasa menggunakan kata tersebut untuk segala macam pekerjaan yang tidak baik dan atau bertentangan dengan ajaran agama.

Ayat ini bukan saja menginformasikan perihal gambaran dialogis antara Ashab al-Yamin dengan Al-Mujrimin, melainkan juga memberikan kita tuntunan tentang empat hal yang disesali al-Mujrimin.

Pertama, al-Mujrimin enggan mendirikan shalat semasa hidup di dunia. Ibadah yang merupakan tiang agama yang ditinggalkan tanpa alasan yang benar sehingga mereka sangat menyesal. Jika shalat sebagai kebutuhan seorang hamba pada Tuhannya saja ditinggalkan, tentu mudah bagi mereka meninggalkan amalan-amalan lainnya.

Kedua, mereka enggan berbagi dan bersedekah makanan pada orang-orang miskin, kendati mereka mampu. Melalui ayat ini, Allah bukan saja tengah memberikan tuntunan bagaimana seorang hamba menjaga ikatan pada Tuhan (melalui shalat di atas), namun juga penduli dan empati kepada mereka yang lemah (hablumninannas). Kedua ikatan ini harus dijaga kualitasnya. Tidak berat sebelah atau bahkan ditinggalkan hingga melahirkan penyesalan.

Ketiga, mereka suka membincang hal-hal tercela. Berlaku julid kepada orang lain, ringan mengghibah sesama. Kata نَخُوْضُ (nakhûdhu) yang pelaku-pelakunya disebut الْخَاۤىِٕضِيْنَ (al-khâ’idhîn) pada mulanya berarti masuk ke dalam suatu tempat yang digenangi air atau berlumpur. Karena itu, kata ini pada umumnya tidak digunakan kecuali untuk makna pembicaraan atau aktivitas yang batil serta tidak berdasar bahkan yang mengakibatkan kecemaran dan kekotoran. Mengghibah sesuatu yang bathil atau bahkan memfitnah dan mencemarkan nama baik orang lain, menjadi salah satu perbuatan yang disesali para pendosa kelak di dalam neraka.

Terakhir, mereka mendustakan hari kiamat. Menganggap bahwa hari kiamat hanya cerita bukan fakta yang nyata adanya. Meski bukti-bukti Al-Quran telah sampai kepadanya. Demikian, Allah memberikan tuntunan sekaligus peringatan untuk kita semua agar memperbaiki empat amalan di atas; senantiasa mendirikan shalat, istiqamah berbagi pada mereka yang membutuhkan, menjauhkan diri dari ghibah dan fitnah di dunia nyata juga dunia maya serta meyakini datangnya hari kiamat dengan menyiapkan bekal sebaik-baiknya. Allahumma ba’idnaa, semoga Allah menjauhkan kita dari golongan al-Mujrimin di atas. Aamiin.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini