Model-Model Pengelolaan Harta Bersama dalam Rumah Tangga

Harta bersama (gono-gini) sering kali menjadi sumber ketegangan dan masalah dalam rumah tangga. Pembagian harta yang tidak adil serta ketidaksepakatan dalam pengelolaannya dapat menyebabkan konflik yang merugikan kedua belah pihak.

Dalam perspektif hukum positif Indonesia, tepatnya dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, harta bersama dijelaskan sebagai harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta benda yang didapat dari warisan atau hadiah, serta dimiliki sebelum menikah disebut sebagai harta bawaan. 

Memahami perbedaan harta bersama dan harta bawaan adalah salah satu langkah penting untuk mencegah munculnya masalah dalam rumah tangga. Banyak masyarakat yang belum mengerti bahwa tidak semua harta milik pasangan dapat menjadi haknya sendiri.

Konflik yang sering terjadi terkait masalah harta bersama dan harta bawaan sering terjadi pada keluarga yang suaminya memiliki istri lebih dari satu. Ketika terjadi perpisahan, baik karena perceraian mau pun kematian, sering dijumpai pasangan yang menuntut harta bawaan pasangannya. 

Karenanya, sangat penting untuk mendiskusikan pengelolaan harta bersama dalam rumah tangga, baik sebelum mau pun sesudah terjadinya akad nikah. 

Keadilan dan Kemaslahatan dalam Rumah Tangga

Pada prinsipnya, kehidupan sosial masyarakat termasuk kehidupan antara suami dan istri,  didasarkan pada kesepakatan bersama. Kesepakatan dibangun atas prinsip keadilan, kejujuran, dan saling rida. Dalam Islam, Allah swt telah mengingatkan bahwa:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil (tidak benar), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka di antara kamu…” (QS. Al-Nisa: 29)

Faqihuddin Abdul Kodir, dalam bukunya Fiqh al-Usrah (2025: 153), mencoba mendekati masalah harta bersama dengan menggunakan teori mubadalah (kesalingan). Menurutnya, dua nilai dasar dalam teori mubadalah dapat menjadi acuan dalam pengelolaan harta bersama, yaitu ‘adaalah (keadilan) dan mashlahah (kemaslahatan). 

Secara biologis dan sosial, perempuan yang telah terikat pernikahan menjadi lebih terbatas partisipasinya dalam banyak bidang, di antaranya adalah kesempatan dalam bekerja. Maka, atas dasar keadilan dan kemaslahatan, seorang istri mendapatkan hak untuk menerima nafkah dari suami. 

Perlu diingat bahwa kendati seorang istri tidak mencari nafkah dengan bekerja, pada praktiknya ia juga memberikan kontribusi nyata dalam kehidupan berumah tangga, misalnya mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak. Dengan kesadaran ini, maka seorang istri juga berhak atas harta bersama yang dibagi secara adil dan jelas. 

Beberapa Model Pengelolaan Harta Bersama

Atas dasar prinsip keadilan dan kemaslahatan di atas, Faqihuddin Abdul Kodir kemudian memberikan beberapa model pengelolaan harta bersama yang dapat dipilih pasangan suami istri. Model-model pengelolaan ini didasarkan pada beberapa prinsip yang ia sebut sebagai sebagai basis logika akhlak yang lebih mendasar, yaitu (1) prinsip memperlakukan pasangan dengan baik (mu’aasyarah bi al-ma’ruuf), (2) prinsip kesepakatan (al-ittifaaq), dan atau (3) prinsip kerja sama dan kemitraan (zawaaj wa musyaarakah). 

Dengan ketiga prinsip tersebut, ia menemukan tiga model pengelolaan harta bersama. Model-model ini ia sebut dengan “Keranjang Keluarga”. Yaitu:

Model pertama, ‘Keranjang Maksimal’. Kedua belah pihak sepakat untuk memasukkan semua pendapatannya sebagai harta bersama, tidak peduli antara suami dan istri memiliki pendapatan yang berbeda. Semua keperluan rumah tangga, seperti sandang, pangan, dan papan atau pun biaya pendidikan dan kesehatan, dikeluarkan dari harta bersama tadi. 

Dengan model pengelolaan seperti ini, semua barang yang diperoleh selama pernikahan adalah milik bersama, bukan milik suami saja atau istri saja. Model ini juga mengabaikan fakta jika hanya salah satu pihak saja yang bekerja. Ketika terjadi perpisahan, karena cerai atau wafat, harta dibagi dua terlebih dahulu sebelum diwariskan. 

Model kedua, ‘Keranjang Minimal’. Pada model ini kedua belah pihak telah bersepakat untuk memasukkan jumlah tertentu sebagai harta bersama. Keperluan yang menyangkut kemaslahatan rumah tangga dikeluarkan dari harta tersebut, seperti sandang, pangan, dan papan. 

Di luar itu, jika salah satu pihak memiliki harta, seperti uang atau barang, berarti dihitung sebagai harta pribadi. Pasangan tidak berhak atas harta pribadi pasangannya kecuali dengan izin pemiliknya. 

Penting untuk dicatat dalam model Keranjang Minimal ini adalah bahwa jumlah yang harus dimasukkan sebagai harta bersama tidak mesti sama. Dengan beberapa pertimbangan, seperti jumlah gaji yang jauh berbeda atau hanya salah satu yang bekerja, bisa saja kas bersama berasal hanya dari salah satu pihak. Atau, suami, misalnya, berkontribusi berkali-kali lipat daripada istrinya.

Model ketiga, ‘Keranjang Menengah’. Pada model ini kedua belah pihak sama-sama berupaya maksimal mengutamakan harta bersama, tetapi tetap menyisihkan sebagian kecil hartanya sebagai milik pribadi. Inilah yang membedakannya dengan model pertama. 

Dengan demikian, tidak ada kesepakatan resmi mengenai jumlah tertentu yang wajib dimasukkan masing-masing pihak sebagai harta bersama. Dan inilah yang membedakannya dengan model kedua. 

Cara pengelolaan harta bersama dengan model ini mensyaratkan pentingnya masing-masing pasangan mengetahui mana harta bersama dan mana harta pribadi. Sehingga, ketika terjadi perpisahan, salah satu pasangan tidak melakukan perbuatan zalim bagi ahli waris, misalnya dengan menyebut harta pribadi pasangan sebagai harta bersama. 

Tips Mengelola Harta Bersama 

Beberapa hal berikut dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan model dan menjalankan pengelolaan harta bersama yang cocok bagi masing-masing pasangan suami-istri. 

Pertama, kenali karakter dan kebiasaan finansial pasangan. Misalnya, pasangan yang suka melakukan self reward kemungkinan besar tidak akan cocok dengan model pertama, Keranjang Maksimal. Tipe pasangan ini lebih cocok dengan model kedua, sehingga ia masih memiliki tabungan pribadi yang dapat digunakan tanpa izin pasangannya. 

Kedua, buat kesepakatan tertulis atau catatan bersama. Adanya kesepakatan dan catatan penting untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penggunaan harta bersama. Pentingnya catatan terkait perjanjian sejatinya telah diingatkan oleh Allah melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah ayat 282, ayat yang menjelaskan catatan perjanjian.

Ketiga, tetapkan pos keuangan yang jelas. Apapun model pengelolaan harta yang dipilih, tetapkan jumlah atau persentase yang jelas terkait keperluan-keperluan rumah tangga. Misalnya, 50% untuk keperluan rumah tangga, 20% untuk tabungan atau dana darurat, 20% untuk investasi, dan 10% untuk hiburan. 

Keempat, evaluasi berkala. Kebutuhan hidup dan rumah tangga dapat berubah seiring waktu, apalagi ketika telah memiliki anak. Maka, mengatur kembali harta bersama dalam jangka waktu tertentu merupakan sesuatu yang penting. 

Dengan demikian, adanya pembicaraan dan kesepakatan yang jelas mengenai harta bersama merupakan langkah penting dalam kelestarian rumah tangga. Jangan sampai setelah adanya perpisahan, masalah semakin menumpuk akibat terjadi sengketa terkait harta, sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini