Maqashid Surat Al-Isra ayat 1-3: Mengurai Makna Perjalanan Dua Nabi

Selain dinamakan surat al- ‘Isra, ada dua sebutan nama untuk surat ini diantaranya surat Bani Israil dan surat Subhana. Namun yang terdengar dan populer di kalangan kita adalah surat al-Isra dan surat Bani Israil. Menurut Quraish Shihab, dinamai al-Isra karena awal ayatnya berbicara tentang al-Isra’ yang merupakan uraian yang tidak ditemukan secara tersurat selain pada surat al-Isra’ ini. Shihab melanjutkan juga bahwa dinamakan surat Bani Israil karena hanya dalam surat ini diuraikan tentang pembinasaan dan penghancuran Bani Israil secara detail. Adapun subhana, karena surat ini diawali dengan kata tersebut dan memiliki makna penekanan sisi penyucian Allah dan sisi pujian kepadaNya.

Ketiga nama ini hanya sebagai simbol identitas dan sah saja memakai nama manapun. Dalam sebuah riwayat at-Tirmidzi, meriwayatkan melalui ‘Aisyah RA, bahwa Nabi tidak tidur sebelum ia membaca surat az-Zumar dan Bani Israil. Hal ini membuktikan bahwa nama yang populer bagi surat ini di masa Nabi saw adalah surat Bani Israil. Berikut redaksi Hadis nya: 

عن عائشة رضي الله عنها، أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا ينام حتى يقرأ -وفي رواية: كان يقرأ كل ليلة- بني إسرائيل والزمر. رواه الترمذي. قال الترمذي: حديث حسن غريب.

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi Muhammad saw tidak tidur malam sebelum membaca surat Bani Israil dan surat az-Zumar (HR. Tirmidzi). Menurut at-Tirmidzi: Hadis ini dihukumi Hasan Gharib”.

Secara singkat, mayoritas Ulama mengungkap bahwa surat ini turun sebelum Nabi berhijtah ke Madinah, dengan begitu surat ini tergolong surat Makkiyah. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menjelaskan bahwa dirinya dihadapkan dengan perdebatan Ulama yang memposisikan surat ini antara Makkiyah atau Madaniyah, dengan alasan bahwa beberapa ayat pada surat ini seperti ayat 73 dan 74 terjadi pada periode Madinah. Pada kasus ini, Shihab lebih cenderung pada pendapat pertama yaitu Makkiyah. Selanjutnya, mengutip dari al-Biqai dalam tafsirnya Nazm al-Durar fi Tanasubi al-Ayat wa al-Suwar vol. 5 halaman 128: 

تدور معظم موضوعات سورة الإسراء على العقيدة؛ وبعضها عن قواعد السلوك الفردي والجماعي وآدابه القائمة على العقيدة، إلى شيء من القصص عن بني إسرائيل، وطرف من قصة آدم وإبليس وتكريم الله للإنسان.

“Sebagian besar tema Surat al-Isra’ berkisar pada keimanan; beberapa di antaranya adalah tentang aturan perilaku dan etika individu dan kolektif yang didasarkan pada keimanan, hingga beberapa kisah tentang bangsa Israel, kisah Adam dan Iblis, dan kemuliaan Tuhan bagi manusia”.

Hemat penulis, al-Biqai dalam tafsirnya fokus pada unsur tematik (maudlu’i) dalam surat al-Isra, tidak pada makna historis setiap ayat di dalamnya. Jika kita lihat surat ini dari segi historis, dengan mengaca pada ayat, pada ayat 1-3, ada dua Nabi yang di Isra’ kan dengan cara dan tempat atau waktu yang berbeda atas keheendak Allah dan tidak terjadi atas dasar kemampuan mereka, yaitu Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS. Singkatnya, Nabi Muhammad diperjalanankan oleh Allah dari al-Masjid al-Haram (Mekkah) menuju Masjid al-Aqsha (Palestina), sedangkan Nabi Musa AS diperjalankan dari Mesir ke negeri yang diberkati pula yaitu Palestina. Keduanya tentu memiliki tugas yang berbeda dalam melakukan perstiwa Isra’ ini. Berikut penjelasannya. 

Isra’ Mi’raj yang Menghibur Hati Nabi Muhammad SAW

Pada surat sebelumnya yaitu surat an-Nahl mengungkap bagaimana keadaan Nabi saat menghadapi masa sulit. Dimulai dengan wafatnya paman Nabi, Abu Thalib, yang membela Nabi melalui pengaruh dan ketokohannya di masyarakat Mekkah. Kemudian tak lama dari itu, istri tercinta, Khadijah ra yang mendukung dan menanamkan ketenangan pada Nabi. Disusul dengan gangguan kaum musyrikin yang menganggu dakwah Nabi sampai beliau hijrah ke Thaif untuk berdakwah, namun masih tetap diganggu bahkan ditolak.

Tiga peristiwa itu menjadikan Nabi terasa terpuruk yang ia sebut dengan ‘Am al-Huzn atau tahun kesedihan. Imam al-Sya’rawi dalam kitabnya Khawatirusy Sya’rawi Haulal Quranil Karim, dalam kitabnya mengungkap, sejak itu Nabi tidak berhenti meminta ketenangan hati pada Allah sampai akhirnya dikabulkan sehingga menjadi bukti bahwa Allah tidak akan meninggalkan hambanya berlarut dalam kesedihan. Allah swt. menghibur Nabi seakan-akan Tuhan berkata “Kalau penduduk bumi menolak kehadiranmu wahai Rasul dan menentang ajaran yang engkau sampaikan, tidak demikian penghuni langit.” Menurut al-Sya’rawi, sejak hari itu Nabi diisra’ dan mi’rajkan. 

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya, penggunaan kata subhana yang secara harfiah diartikan sebagai makna keheranan keajaiban atas sesuatu, namun pada ayat ini tidak demikian. Pada konteks ayat ini tidak ada sesuatu yang mengherankan sebelumnya-yaitu peristiwa Isra’ nya Nabi Muhammad.

Dalam hal ini, Shihab memperjelas bahwa peristiwa ini bukan hal yang biasa, ini menjadi sebuah takjub dan heran yang diluar nalar kebiasaan yang selama ini dikenal manusia. Disisi lain, Shihab juga mengkritisi kata subhana ini menjadi lanjutan ayat dari akhir ayat surat al-Nahl (16:128) dan memiliki hubungan yang erat dengan akhir kata Muhsinun yang berbunyi: 

اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَّالَّذِيْنَ هُمْ مُّحْسِنُوْنَࣖ 

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan yang berbuat kebaikan”

Redaksi kata “Allah bersama para muhsinin” menjadi bukti bahwa Nabi tidak luput dari tangan Allah dan membersamainya di kala senang atau sulit. 

Dalam literatur lain dijelaskan bahwa perjalanan waktu Isra Mi’raj Nabi Muhammad sangat singkat dan tidak ada perintah berpuasa tiga puluh tambah sepuluh hari sebelumnya seperti yang diperintahkan pada Nabi Musa as. 

Isra’ Nabi Musa: Anugerah untuk Kitab Taurat 

وَاٰتَيْنَا مُوْسَى الْكِتٰبَ وَجَعَلْنٰهُ هُدًى لِّبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَلَّا تَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِيْ وَكِيْلًاۗ ۝٢

“Kami memberi Musa Kitab (Taurat) dan menjadikannya sebagai petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), “Janganlah kamu mengambil pelindung selain Aku”.

Ayat kedua ini adalah penganugeraan pada Nabi Musa as yang berisra’ dari negeri Mesir menuju Palestina setelah peristiwa Isra Miraj yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad saw. Menurut Quraish Shihab, sangatlah jelas bagaimana Nabi Musa memiliki kaitan erat dengan peristiwa Isra Mi’raj yang dimana Nabi Musa berulang-ulang mengusulkan Nabi Muhammad agar memohon untuk keringanan atas kewajiban shalat yang berawal 50 kali sehari semalam menjadi 5 kali sehari semalam atas negosiasi/permohonan Nabi pada Allah. Al-Biqai mengungkap kata waw pada ayat kedua ini “wa atayna” yang berfungsi sebagai pembuka uraian baru atau ibtidaiyyah yang berarti “Allah telah mengisra’kan hambaNya, Muhammad, dan telah menganugerahkan Musa al-Kitab”. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Sayyid Qutub yang berpendapat bahwa penyebutan Masjid al-Aqsha pada ayat pertama di surat al-Isra itulah yang mengundang uraian tentang kitab suci yang dianugerahkan kepada Nabi Musa as dan apa yang dialami oleh Bani Israil. 

Melihat sisi korelasi pada ayat pertama dan kedua, lanjut al-Biqa’i dalam tafsirnya bahwa keduanya mengandung makna ihtibak (melengkapi satu sama lain) yaitu ada kalimat pada ayat pertama yang tidak disebut karena ada isyarat kalimat di ayat kedua, begitupun ada kalimat yang tidak disebut pada kedua karena ada isyarat di ayat pertama.

Pada ayat kedua yang disampaikan pada Nabi Musa tidak disebutkan kata Isra’ pada diri Nabi Musa as karena sudah diwakili oleh ayat pertama, begitupun pada ayat pertama tidak disebutkan penganugerahan kitab suci pada Nabi Muhammad saw. Karena hal ini sudah disebut pada ayat kedua. Pandangan al-Biqai ini membawa kesimpulan bahwa kedua hubungan ayat ini menjadi lebih jelas dan serasi. Tentu penganugerahan yang Allah berikan pada Musa as.ini sebagai bukti bahwa Musa mampu menebarkan dan mengajak kebaikan pada Bani Israil dengan washilah kitab Taurat. 

Selanjutnya, ayat ketiga menjadi pengingat penting bagi Nabi Muhammad saw dan Nabi Musa as bahwa Nabi Nuh adalah leluhur yang Allah anugerahkan pula sebagai hamba yang paling banyak taat dan bersyukur dan ia adalah Nabi yang terlama berdakwah di tengah kaumnya, yakni selama 950 tahun. Ayat ketiga ini menjadi isyarat bahwa nikmat Allah telah melimpah kepada Nabi Nuh, leluhur para Nabi yang tidak memiliki upaya apapun namun ia dikehendaki untuk mendapatkan anugerah langsung dari Allah. 

ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوْحٍۗ اِنَّهٗ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا

“(Wahai) keturunan orang yang Kami bawa bersama Nuh, sesungguhnya dia (Nuh) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.”

Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA., Dosen STIU Darul Quran Bogor dan Ustadzah di Cari Ustadz

Tertarik mengundang ustadz Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA.? Silahkan klik disini