Kartini dan Suara Perempuan yang Diabadikan dalam Al-Quran

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan,” (Qs.An-Nisa’/4: 11) 

Dalam ribuan ayat suci Al-Quran, kita menemukan beberapa ayat yang tidak hanya terkait dengan ibadah – muamalah namun juga terkait dengan peneguhan hak-hak yang harus diperoleh perempuan, salah satunya Qs. An-Nisa/4: 11. Syariat tentang ayat suci di atas memuat ketentuan bagian warisan— yang sebelumnya, diabaikan; selepas suami wafat, maka isteri & anak perempuan, tidak memeroleh hak apapun. Tak sedikit, mereka hidup berkekurangan, seperti Umrah bint Hazm dan kedua puterinya. 

Umrah bint Hazm adalah istri Sa’ad bin Ibn al Rabi. Sa’ad ialah salah seorang sahabat Rasulullah yg wafat pada peperangan Uhud. Ia terluka parah saat membela Rasulullah. Dalam Thabaqat Ibn Sa’ad juga Al Ishabah, disebutkan bahwa Umrah bint Hazm Ibn Zaid Ibn Laudzan dari Bani Najjar. Ia masuk Islam dan berbaiat langsung kepada Rasulullah. (Thabaqat Ibn Sa’ad/Jilid 10/ 417, Al Ishabah/ Jilid 4/ 487) 

Suatu hari, Umrah bint Hazm mendatangi Rasulullah lalu berkata seraya menunjuk pada dua anak kecil di sisinya, “Wahai Rasulullah, ini adalah puteriku, dua puteri Sa’ad bin Al Rabi, ayah mereka gugur di medan Uhud sehingga kini mereka yatim. Derita mereka kian berat, karena paman keduanya mengambil harta mereka, tanpa menyisakan sedikit pun. Tentu, anak ini tidak akan bisa menikah kecuali memiliki harta, “

Rasulullah terdiam. Teringat dalam benaknya perjuangan berat Sa’ad bin Al Rabi saat bertarung melawan kafir Quraisy hingga syahid di perang Uhud. Rasulullah juga iba melihat dua puteri kecil Sa’ad. Namun, Rasulullah tidak dapat menetapkan keputusan tentang hal tersebut. Dengan tenang, Rasulullah bersabda, “Allah akan menurunkan ketetapan mengenainya,”. Tak lama menunggu, Allah menurunkan ayat Quran perihal hak waris dalam Qs. An-Nisa/4: 11. MasyaAllah, betapa Allah mendengar suara perempuan, bahkan mengabadikannya dalam ayat suci Al-Quran. Bukti bahwa turunnya ayat tersebut untuk menegaskan hak-hak perempuan atas warisan. Demikian, Al Quran menetapkan bagian untuk dua anak perempuan. Rasulullah pun mengutus seseorang untuk menemui paman mereka & berkata padanya “Berikanlah 2/3 harta pusaka Sa’ad kepada kedua puterinya dan sisanya menjadi milikmu,” (HR. Ahmad/3/352; At-Tirmidzi No. 2092; Abu Dawud no. 2891) 

Uraian di atas membuktikan keberpihakan Al-Quran atas perempuan yang mengalami marginalisasi & hak-hak yang diabaikan. Isteri Sa’ad, Umrah & kedua puterinya menjadi perantara bagi turunnya ketetapan Al-Quran mengenai hukum waris, suatu ketetapan yang tetap berlaku hingga hari ini.

Peristiwa yang dipotret dan direkam Al-Quran dengan sangat sempurna ini mengingatkan kita tentang Kartini, perempuan pejuang Indonesia yang nama dan perjuangannya terus terpatri. Setiap tahun kita memperingati Hari Kartini bukan hanya karena ia adalah perempuan dengan semangat emansipasi, namun juga usaha keras Kartini dengan mengabadikan apa yang ia alami dalam tulisan yang sangat rapi. 

Suara Kartini adalah suara yang juga menjadi keresahan kita bersama. Tentang ketidakadilan dan penindasan terhadap hak-hak manusia yang semestinya dijaga dan diteguhkan. Tentang hak dasar manusia untuk mengenyam pendidikan. Melalui tulisan tulisan Kartini yang masih bisa kita baca dan dalami, keberpihakan terhadap mereka yang lemah & dilemahkan (mustadafin) harus terus kita tumbuhkan. 

Minazh zhulumat ila an-nur yang dalam isyarat Al-Quran dan diinterpretasikan Kartini dalam karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang mendorong banyak perubahan yang bukan saja dampaknya terasa untuk Kartini namun bisa kita teladani hingga hari ini. Ketidakadilan terhadap mereka yang sering diabaikan, harus kita hentikan dengan segenap daya yang bisa kita lakukan, salah satunya lewat pendidikan dengan belajar memaknai Al-Quran sebagai ikhtiar peneguhan keadilan dan kemanusiaan. 

Kartini begitu familiar dengan ikhtiar penanya. Ia bekerja untuk keabadian. Maka kita pun abadi mengingat Kartini. Bukan karena ia mengangkat senjata. Bukan pula karena ia memimpin pasukan. Tapi karena ia menulis. Tentang gelap di balik kerudung perempuan Jawa, tentang cita-cita yang ingin terbang bebas meski sayapnya dikurung adat dan kolonialisme. 

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini