Di antara keutamaan bulan Rajab adalah terjadinya Isra Mikraj (penulisan mengikuti kata baku dalam KBBI), salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Islam. Lewat peristiwa ini Allah Swt. mensyariatkan salah satu rukun Islam, yaitu salat lima waktu.
Peristiwa ini menjadi salah satu hari besar Islam yang paling sering diperingati oleh umat muslim di Indonesia. Tak heran jika ayat pertama surah al-Isra`, yang menceritakan tentang peristiwa Isra Nabi Muhammad Saw., menjadi lebih sering dibaca dan terdengar.
Makna Isra dan Mikraj
Isra Mikraj adalah dua peristiwa yang terjadi dalam satu malam. Dalam banyak literatur, peristiwa ini dimaknai sebagai hiburan bagi Nabi Muhammad Saw. yang sedang bersedih lantaran ditinggal wafat dua orang pelindung utamanya dalam menyebarkan dakwah, yaitu Khadijah bin Khuwailid (istri) dan Abu Thalib (paman). Masa yang kemudian dikenal dengan nama tahun kesedihan (‘aam al-huzn).
Pada suatu malam, ketika sedang tidur di Masjid al-Haram, Rasulullah Saw. didatangi oleh malaikat Jibril yang membawanya menuju Masjid al-Aqsha (Baitul Maqdis) yang berada di Palestina. Peristiwa ini dikenal dengan nama isra, yang secara harfiah berarti perjalanan, yang kemudian diabadikan di dalam al-Qur’an, bahkan menjadi nama surah itu sendiri, yaitu al-Isra’, surah ke-17.
Pada ayat pertama surah tersebut Allah Swt. berfirman,
“Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Sedangkan istilah mikraj berasal dari kata ‘araja-ya’ruju yang berarti naik atau mendaki. Secara istilah, mikraj adalah peristiwa di mana Nabi Muhammad Saw. dinaikkan oleh Allah Swt. dari Masjid al-Aqsha menuju Sidratul Muntaha dengan melalui tingkat demi tingkat langit dunia.
Berbeda dengan isra, tidak ada ayat al-Qur’an yang secara tersurat menceritakan peristiwa mikraj. Dalil dari al-Qur’an yang biasanya dikutip untuk merujuk peristiwa ini adalah surah al-Najm ayat 13-14 yang artinya,
“Sungguh, dia (Nabi Muhammad) benar-benar telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu ketika) di Sidratulmuntaha.”
Meskipun tidak ada dalil sharih tentang mikraj dalam al-Qur’an, terdapat hadis sahih yang menjelaskan peristiwa tersebut. Dalam salah satu hadis yang panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya, Rasulullah Saw. menceritakan bahwa,
“… Kemudian kami (Aku dan Jibril) dinaikkan menuju langit. Jibril pun minta dibukakan pintu langit. Malaikat penjaga langit bertanya, ‘Siapa engkau?’ Jibril menjawab: ‘Aku Jibril.’ Penjaga langit kembali bertanya, ‘Dan siapa yang bersamamu?’ Jibril menjawab: ‘Muhammad.’ …”
Hikmah Perjalanan Isra-Mikraj
Isra dan mikraj adalah dua perjalanan yang berbeda, kendati terjadi pada satu malam yang sama, bahkan beriringan. Perjalanan isra berdimensi horizontal (sejajar), dari satu tempat di bumi ke tempat lain yang juga masih di bumi. Sedangkan mikraj adalah perjalanan vertikal (atas-bawah), perjalanan mendaki dari bawah (bumi) ke atas (langit).
Perjalanan Nabi Muhammad menuju Masjid al-Aqsha memberikan makna sosial yang tinggi. Secara simbolis, masjid adalah tempat persatuan. Di berbagai daerah, masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah keagamaan, tetapi juga sarana menyemai persaudaraan lewat berbagai kegiatan sosial.
Selain itu, Masjid al-Aqsha merupakan tempat yang begitu penting dalam sejarah umat manusia, sebelum dan sesudah datangnya Islam. Sebelum Islam, masjid tersebut menjadi pusat dakwah banyak nabi terdahulu. Sesudah datangnya Islam, Masjid al-Aqsha bahkan pernah menjadi kiblat umat muslim selama beberapa belas bulan.
Ini memberikan makna bahwa Islam dan Nabi Muhammad tidak meninggalkan nabi-nabi dan ajaran mereka yang terdahulu. Islam sendiri datang sebagai agama yang menyempurnakan agama-agama samawi sebelumnya.
Sedangkan mikraj secara simbolis dapat dimaknai sebagai pendakian spiritual, tahap demi tahap. Sebelum berhadapan dengan Allah Swt., puncak dari segala kenikmatan dan kebahagiaan, Nabi Muhammad diberikan banyak bekal. Pada setiap tingkat langit, Nabi Muhammad bertemu dengan nabi-nabi terdahulu, yang secara simbolis menyiratkan berbagai macam makna.
Di langit pertama, beliau bertemu dengan nabi Adam yang menyimbolkan asal-usul dan tujuan hidup manusia sebagai khalifah di bumi. Di langit kedua, beliau bertemu dengan nabi Yahya dan Isa, simbol semangat muda. Selanjutnya beliau bertemu dengan nabi Yusuf di langit ketiga, yang memberikan pelajaran tentang kerja keras dan kesabaran (dibuang saudaranya dan difitnah hingga masuk penjara).
Di langit keempat, Nabi Muhammad bersua dengan nabi Idris. Beliau adalah simbol ilmu dan kecerdasan serta pendayagunaan akal. Setelah mendapatkan ilmu dan mendayakan akal, barulah komunikasi dibangun. Di langit selanjutnya, langit kelima, Nabi Muhammad bertemu dengan nabi Harun, nabi yang diutus untuk menemani nabi Musa sebagai penyambung lidah dakwah.
Selanjutnya, di langit keenam, beliau bertemu dengan nabi Musa sebagai simbol keberanian dan ketangguhan. Nabi Musa dikenal sebagai nabi yang secara fisiki kuat. Beliau juga berani melawan Fir’aun dan berpihak kepada orang-orang yang lemah. Di langit teratas, beliau bertemu dengan Nabi Ibrahim sebagai simbol puncaknya tawakal.
Bahkan, setelah berhadapan dengan Allah Swt., ada hikmah besar yang dapat diambil pelajaran. Tentunya sudah maklum bagi setiap muslim bahwa Nabi Muhammad bukan pribadi yang egois. Namun, tidak banyak orang yang tetap memikirkan umat setelah mencapai puncak spiritualitas dan kebahagiaan.
Di antara buktinya adalah kalimat as-salaamu ‘alaina wa ‘alaa ibaadillah al-shaalihiin dalam bacaan tahiyat. Kalimat tersebut diajukan oleh Nabi setelah mendapatkan salam dari Allah (as-salaamu ‘alaika ayyuha al-Nabiy wa rahmatullah wa barakaatuh).
Sehingga, mikraj dapat dimaknai sebagai perjalanan dari bawah ke atas, pendakian spiritual perlahan-lahan, dan kemudian dilanjutkan ke bawah lagi, yaitu tidak berhenti di puncak dengan menikmatinya sendiri, tetapi juga untuk membimbing umat. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini