Islam memberi dorongan besar untuk peduli pada semesta bahkan menjadi bagian dari wujud konkrit sikap takwa. Sebab takwa itu berarti menjaga atau memelihara (al wiqaayah/ wiqaaun), memelihara dari apa? memelihara atau menjaga sesuatu apa saja yang merusak atau mengganggu (hifdzu al syai ‘amma yudziihi).
Karena itu, menjaga lingkungan agar tidak dirusak dan berupaya menjaganya merupakan bagian dari prinsip takwa. Lantas apa yang menjadi alasan bahwa manusia punya tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga lingkungan? Setidaknya ada dua alasan logis:
Pertama, manusia sebagai hamba (abdun) juga khalifah. Pada diri manusia, melekat dua identitas sebagai hamba (abdun) yang mewujudkan dirinya untuk menyembah, menghambakan diri. Di saat yang sama juga sebagai khalifatan fil ardh yang punya tanggung jawab terhadap keberlansungan hidup.
Nabi Adam dan seluruh manusia itu diciptakan oleh Allah untuk menjadi khalifah. Artinya manusia punya tanggung jawab, dan tanggung jawab yang dilaksanakan akan menjadi bentuk nilai ibadah juga bentuk kebaikan pengabdian hidup.
Kesadaran sebagai hamba, kuncinya mulai dari diri sendiri walau itu hal kecil tapi memberi dampak pada lingkungan, misalnya sekarang para aktivis lingkungan menyuarakan mengurangi penggunaan plastik dengan beralih pada penggunaan tas belanja kain, agar meminimalisir penggunaan plastik di tengah tumpukan sampah yang kian tak teratasi, hingga akibatnya menimbulkan penyakit dan dampak ke lingkungan.
Menjadi bagian dari orang yang tak merusak lingkungan, sesungguhnya menegaskan diri sebagai khalifah (orang orang yang menjalankan tanggung jawab di dunia). Jangan sampai, apa yang menjadi protes malaikat pada Allah saat manusia diciptakan? أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا (Gini ya Allah, Engkau mau ciptakan manusia yang punya karakter merusak itu? Sekiranya begitu “protes” Malaikat. Tapi Allah balas, Malaikat, Aku (kata Allah) lebih tahu, lebih paham dari apa yang kamu ketahui, yang kamu khawatirkan.
Artinya, Allah itu menjadikan manusia khalifah karena diberikan akal pikiran dan hati sanubari yang dalam agar agar mecintai atau merawat semesta dengan setulus hati dan berupaya berpikir jernih untuk tak merusaknya.
Kedua, Islam itu Rahmatan Lil-Alamin. Artinya Islam itu wujud kasih sayangnya, pedulinya tak sebatas pada manusia untuk menjaga dan berbuat baik, tapi ke alamin (pada alam semesta) yang merupakan ciptaan Allah sebagai rabbul alamin (Tuhan pemilik semesta).
Misalnya dalam urusan bersuci قَضَاءِ اَلْحَاجَةِ tentang buang hajat Nabi Saw melarang untuk buang air besar ditempat umum atau di tempat orang berteduh. Larangan Nabi itu sebagai penegasan bahwa Islam tak ingin ada orang mencemarkan lingkungan dengan bau tak sedap, yang menganggu lingkungan. Pesan Nabi Saw ini pun, jika mengambil spirit pesannya, apapun yang dapat merusak lingkungan maka tak dapat dibenarkan. Misalnya membuang sampah di tempat umum, di jalanan lalu lalang orang melintas atau di tanah kosong orang lain apalagi dengan mendatangkan bau tak sedap.
Itu sebabnya Nabi memberi pesan singkat tapi punya makna yang dalam Laa dharara wa laa dhirara yang berarti upayakanlah untuk jangan melakukan sesuatu yang membawa kerusakan pada diri sendiri, dan jangan pula membuat kerusakan pada khalayak.
Artinya tidak diperkenankan melakukan sesuatu yang merugikan secara fisik maupun bathin pada diri sendiri juga pada orang lain, begitu-pun jangan sampai menimbulkan kerugian pada tumbuhan serta lingkungan hidup atas apa yang kita lakukan.
Al hasil, merawat lingkungan dapat dimulai dari hal terkecil yang bisa dilakukan untuk bersahabat dengan lingkungan dan alam. Setiap tindakan kecil akan mempengaruhi hari esok, Jika kita cinta pada alam ni, alam-pun akan bersahabat.
Kerusakan itu terjadi, bima kasabat aidin nas karena manusia sendirilah yang merusaknya. Belajar dan sadar mencintai lingkungan adalah tanda iman dan sikap takwa sebagai rasa syukur/terimakasih kepada rabbul alamin (Pemilik Alam semesta).
Mabrur Inwan, M.Ag, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Mabrur Inwan, M.Ag? Silakan Klik disini.